Jakarta (ANTARA) - Tahun 2025 menandai tujuh dekade keanggotaan Indonesia dalam UNESCO, sebuah momentum historis yang patut menjadi bahan refleksi sekaligus komitmen baru.
Sejak bergabung pada 27 Mei 1950, Indonesia tidak hanya menjadi penerima manfaat dari berbagai kerangka kerja global UNESCO, tetapi juga turut membentuk arah strategi budaya organisasi tersebut, terutama dalam konteks kawasan ASEAN.
Salah satu capaian penting tahun ini adalah diakuinya dokumen sejarah pembentukan ASEAN (1967–1976) dalam daftar Memory of the World oleh UNESCO. Arsip ini diajukan bersama oleh Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Hal ini mencerminkan nilai historis atas lahirnya satu organisasi kawasan dari negara-negara yang baru merdeka dan relatif kecil, tetapi berhasil membangun kepercayaan dan kerja sama dalam membentuk stabilitas kawasan.
Ini juga menjadi dasar dari apa yang kini dikenal sebagai ASEAN Way—pendekatan diplomasi berbasis konsensus, dialog, dan saling tidak mencampuri urusan dalam negeri.
Pengakuan ini menjadi yang pertama bagi dokumen kelembagaan kawasan dari negara-negara Global South yang disejajarkan dengan arsip dunia seperti Magna Carta atau Records of the League of Nations.
Apakah ASEAN masih relevan hari ini?
Namun, di balik pengakuan itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah ASEAN masih relevan hari ini? Di tengah kemunduran kepercayaan terhadap multilateralisme dan meningkatnya ketegangan geopolitik di kawasan, prinsip-prinsip dasar ASEAN sering dianggap tidak cukup solid untuk menjawab tantangan politik dan keamanan, tidak hanya di kawasan regional asia tenggara, tapi juga bilateral antara sesama negara anggota.
Secara budaya, meski Asia Tenggara kaya akan warisan dan keberagaman, upaya untuk membangun identitas budaya bersama masih minim dan cenderung elitis. Kajian Quimba dan Barral (2024) menunjukkan bahwa prinsip sentralitas ASEAN saat ini makin melemah akibat dari rivalitas kekuatan besar dan resistensi internal terhadap perubahan.
Tanpa revitalisasi diplomasi budaya, ASEAN berisiko menjadi simbolik semata, bukan aktor strategis kawasan.
Dalam konteks ini, kita perlu melihat ASEAN bukan hanya sebagai aliansi politik atau ekonomi, melainkan sebagai komunitas budaya dan intelektual. UNESCO selama ini telah mendorong gagasan budaya bersama (shared culture) bukan sekadar sebagai perayaan kesamaan, tetapi sebagai cara membangun pemahaman atas keberagaman.
Budaya, menurut Spivak (2017), bukan milik tunggal yang eksklusif, tetapi entitas yang dinamis dan terbagi lintas batas. UNESCO memandang pelestarian warisan budaya harus mencerminkan dialog antarkelompok dan keterbukaan untuk pengakuan bersama. Inilah yang juga menjadi landasan utama transformasi ideal ASEAN: dari blok politik pragmatis menjadi ruang dialog budaya kawasan.
Indonesia telah lama menjadikan diplomasi budaya sebagai poros penting dalam hubungan internasionalnya. Dengan lebih dari 17 ribu pulau, 700 bahasa, dan ratusan kelompok etnis, Indonesia adalah miniatur keberagaman global. Dari pengakuan batik, kebaya, hingga inisiatif lintas batas seperti Jalur Rempah, Indonesia aktif menjembatani identitas regional melalui pendekatan pluralistik.
Indonesia sebagai model bagaimana nilai-nilai UNESCO dapat diwujudkan
Dalam hal ini, Indonesia tidak hanya sebagai peserta, tetapi sebagai model bagaimana nilai-nilai UNESCO dapat diwujudkan: penghormatan, kebersamaan, dan kesadaran sejarah kolektif.
Pengakuan budaya bersama seperti ini membawa manfaat nyata. Ia memperkuat identitas simbolik kawasan, membuka peluang pariwisata lintas batas, menggerakkan ekonomi kreatif, dan menjadi dasar bagi reformasi kurikulum pendidikan kawasan yang selaras dengan visi UNESCO yaitu literasi budaya. Dari narasi perdagangan maritim hingga praktek religi, warisan bersama dapat menjadi sumber pembelajaran yang memperdalam kesadaran kebangsaan Asia Tenggara.
Namun tantangannya tidak sedikit. Ketimpangan kapasitas antarnegara anggota ASEAN cukup lebar. Negara-negara seperti Laos dan Myanmar akan potensial terpinggirkan karena masalah sumber daya, sementara negara besar seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand berisiko mendominasi narasi budaya.
Fragmentasi institusional, birokrasi lintas kementerian, dan kurangnya kemauan politik membuat banyak inisiatif budaya ASEAN tersendat. Ketimpangan ini mengancam semangat inklusivitas yang seharusnya menjadi jiwa dari pengakuan budaya bersama.
Tantangan terbesar adalah bahwa budaya bersifat politis dan bisa diperebutkan. Isu asal-usul batik, kebaya, atau reog ponorogo kerap memicu tensi diplomatik. Padahal, “unity in diversity” harus dilandasi oleh pemahaman kolektif bahwa warisan budaya tidak lahir dalam ruang tertutup, melainkan dari perjumpaan lintas batas. Rattanasevee (2023) mencatat bahwa identitas kolektif ASEAN selama ini masih terlalu elitis, belum menyentuh kesadaran masyarakat luas di tingkat akar rumput.
Dalam konteks ASEAN, pengakuan terhadap budaya bersama harus diikuti langkah nyata: mulai dari pembangunan narasi identitas ASEAN, dialog hak budaya lintas negara, hingga penyusunan daftar warisan budaya kawasan yang lintas batas.
Indonesia, dengan pengalaman panjang dalam diplomasi budaya dan modal keragaman budaya domestiknya, perlu mengambil peran kepemimpinan. Salah satu langkah konkret adalah membangun infrastruktur budaya kawasan, seperti platform arsip digital ASEAN yang mencakup dokumen, narasi, dan artefak sejarah kolektif; mendukung riset kolaboratif tentang warisan budaya bersama; dan memperluas program pertukaran seniman, kurator, sejarawan, dan pelajar lintas negara ASEAN.
Melakukan dekolonisasi cara kita memandang warisan budaya
Lebih jauh lagi, kita harus melakukan dekolonisasi cara kita memandang warisan budaya. Jangan hanya melihat melalui lensa nasionalisme sempit, tetapi juga menghargai sejarah hibrida. Misal, Indonesia bersama Malaysia merayakan naskah Hamzah Fanzuri sebagai memory of the world pada tahun 2025 ini, pun inskripsi warisan budaya tak benda pantun dengan Malaysia pada 2020. Budaya bersama ASEAN juga harus inklusif terhadap pengalaman migran, kelompok minoritas, dan masyarakat adat yang sering kali terpinggirkan dalam narasi resmi.
Sebagai penutup, geopolitik netral dan integrasi ekonomi saja tidak cukup. Di tengah kontestasi pengaruh di Asia Tenggara, Indonesia perlu menegaskan jati diri melalui narasi budaya yang menyatukan.
Inisiatif budaya bersama yang digagas UNESCO memberikan peluang berdampak besar untuk mengokohkan solidaritas regional.
Untuk itu Indonesia, yang tahun ini menandai 75 tahun kebersamaannya dengan UNESCO, perlu terus menjadi jangkar sekaligus penggerak utama dari komunitas budaya Asia Tenggara yang kolaboratif, setara, dan berpandangan jauh ke depan. Indonesia tidak cukup hanya berperan sebagai penjaga warisan budaya, tetapi harus melangkah lebih jauh menjadi penggerak imajinasi kolektif yang merajut benang-benang sejarah, nilai, dan harapan bersama bangsa-bangsa Asia Tenggara.
Melalui narasi budaya yang inklusif dan hidup, Indonesia dapat menumbuhkan rasa saling memiliki di antara masyarakat ASEAN, membangun kesadaran bahwa identitas regional bukan sekadar konstruksi politik, melainkan hasil dari perjumpaan panjang antarbudaya yang layak dirayakan dan diwariskan bersama.
*) I.G.A.K Satrya Wibawa adalah Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, Dosen Departemen Komunikasi & Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
Editor: Dadan Ramdani
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: 75 Tahun Indonesia di UNESCO: relevansi diplomasi budaya ASEAN