Jakarta (ANTARA) - Kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan Amerika Serikat jelas menjadi ancaman bagi industri nasional Indonesia karena berpotensi memukul sejumlah sektor ekspor utama seperti garmen, peralatan listrik, alas kaki, hingga minyak nabati.
Aturan tarif Trump itu sempat membuat para pengusaha di tanah air was-was, sebab pasar AS merupakan salah satu tujuan ekspor utama Indonesia.
AS sendiri memang merupakan mitra ekspor terbesar kedua bagi Indonesia setelah China. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total ekspor Indonesia ke AS sepanjang Januari–Februari 2025 tercatat mencapai 4,68 miliar dolar AS. Negeri Paman Sam itu juga menjadi salah satu penyumbang surplus perdagangan terbesar bagi Indonesia, dengan total surplus selama periode tersebut mencapai 3,14 miliar dolar AS.
Untungnya, sementara ini Trump memberikan masa penangguhan tarif selama 90 hari sehingga memberi sedikit napas lega bagi pemerintah maupun pelaku usaha untuk menyusun langkah strategis.
Meski demikian, apabila AS tetap memberlakukan tarif 32 persen kepada Indonesia, importir AS kemungkinan besar akan berpikir dua kali apabila ingin mengimpor barang dari Indonesia karena tingginya beban bea masuk.
Industri tekstil, yang mempekerjakan sekitar 3,98 juta orang pada 2025, serta industri furnitur dengan lebih dari 962.000 tenaga kerja secara tidak langsung bakal menghadapi risiko penurunan permintaan dari pasar AS.
Skenario terburuknya, industri ini berpotensi menghadapi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) imbas efisiensi perusahaan karena kehilangan pasar utama.
Di tengah tekanan ini, langkah diplomasi menjadi krusial. Alih-alih membalas ancaman tarif dengan kebijakan serupa, Pemerintah Indonesia memilih jalur negosiasi.
Berbeda dengan China dan Uni Eropa yang merespons dengan aksi balasan, Indonesia mengambil pendekatan diplomasi yang dinilai lebih rasional oleh banyak ekonom.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai bahwa Indonesia belum memiliki daya tawar sebesar Uni Eropa atau China, sehingga jalur negosiasi menjadi pilihan yang lebih strategis untuk saat ini.
Pada 16 April 2025 lalu, delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melakukan lawatan ke Washington D.C, AS untuk mulai berunding dengan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR), Kementerian Perdagangan AS (Department of Commerce), serta Kementerian Keuangan AS (Department of Treasury) di Washington, D.C.
Syahdan, kedua negara sepakat menyusun peta jalan (roadmap) perdagangan dengan tenggat selama 60 hari ke depan. Pembahasan teknis negosiasi Indonesia-AS bakal mempertimbangkan lima fokus berikut:
1. Menjaga ketahanan energi nasional,
2. Memperjuangkan akses pasar ekspor,
3. Mendorong kemudahan berusaha melalui deregulasi,
4. Membangun rantai pasok industri strategis, termasuk mineral kritis,
5. Memperluas akses terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
"Tawaran Indonesia kepada Amerika Serikat bertujuan untuk mewujudkan kerja sama perdagangan yang adil, fair and square," kata Airlangga.
Sejauh ini, Indonesia dan USTR telah menandatangani non-disclosure agreement (NDA) yang menandai dimulainya fase pembahasan teknis yang akan berlangsung dalam dua pekan ke depan.
Menjaga kepentingan nasional
Posisi Indonesia dalam negosiasi dengan AS harus tetap menempatkan kepentingan nasional sebagai fondasi utama.
Namun, di tengah proyeksi melebarnya defisit transaksi berjalan, langkah pemerintah untuk "merayu" Presiden Trump dengan membuka lebih lebar keran impor produk energi dan pangan asal AS turut menjadi sorotan.
Hal ini karena tidak menutup kemungkinan bahwa taktik negosiasi ini justru dapat memperlebar defisit transaksi berjalan Indonesia sendiri.
Sebagai catatan, surplus neraca perdagangan Indonesia dengan AS mencapai 14,37 miliar dolar AS pada 2024.
Dalam hal ini, pemerintah perlu berhati-hati. Tidak boleh ada kompromi yang melemahkan daya saing industri dalam negeri atau membuat sektor-sektor strategis kalang kabut menghadapi lonjakan tarif atau perubahan aturan yang mendadak.
Apapun hasil negosiasi nanti, Pemerintah perlu memastikan bahwa sektor-sektor penting, mulai dari manufaktur, pertanian, hingga industri kreatif, mendapatkan perlindungan dan dukungan yang memadai.
Di samping itu, Indonesia juga perlu mempercepat upaya diversifikasi pasar ekspor. Ketergantungan berlebihan pada pasar tradisional seperti AS perlu untuk dievaluasi lagi.
Chief Economist Juwai IQI Shan Saeed menilai negara-negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) yang tengah menguat sebagai blok ekonomi baru bisa menjadi alternatif pasar yang menjanjikan.
Memang, membuka pasar baru bukanlah pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Membangun kepercayaan, memenuhi standar kualitas, serta memahami preferensi pasar asing memerlukan waktu dan sumber daya lebih.
Kendati demikian, bukan berarti hal itu mustahil. Dengan diplomasi ekonomi yang tepat serta pemanfaatan perjanjian dagang regional, Indonesia berpotensi memperluas pijakan ekspornya di luar bayang-bayang kekuatan tradisional dunia.
Meskipun tantangan masih membayangi, sejauh ini Indonesia dan AS menunjukkan komitmen untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Dalam 60 hari ke depan, kedua negara berupaya merampungkan negosiasi guna menghindari eskalasi tarif yang dapat merugikan kedua belah pihak.
Tarif resiprokal AS memang akan mengubah tatanan global. Munculnya poros-poros baru seperti BRICS menjadi salah satu contohnya. Ini menjadi respons negara-negara lain dalam menanggapi AS yang justru cenderung menutup diri dan merangkul unilateralisme di bawah komando Trump.
Dalam 60 hari, proses negosiasi akan menjadi ujian nyata apakah Indonesia mampu mempertahankan kepentingan nasional tanpa terjebak dalam eskalasi dagang.
Sebab, kerja sama yang adil bukan semata soal neraca dagang, melainkan juga soal saling menghormati kedaulatan ekonomi masing-masing negara.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Tarif Trump dan ujian diplomasi ekonomi RI

Tarif resiprokal Trump dan ujian diplomasi ekonomi RI


Pemerintah Indonesia dan Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR) sepakat untuk segera membahas negosiasi tarif secara intensif dan menyiapkan kerangka kerja sama dalam waktu 60 hari ke depan, Washington DC, AS (ANTARA/HO-Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian)